Setelah Aceh Pungo, lalu Terbitlah Doa Orang Gila
Sebagai orang yang berpura-pura jadi penulis, saya tentu saja senang ketika buku saya, Doa Orang Gila dan Hal-hal Tak Terduga, akhirnya bisa terbit. Buku ini mulai beredar di pasaran pada minggu kedua bulan Februari tahun ini. Terbitnya buku ini memang termasuk molor dari jadwal yang direncanakan. Awalnya, saya berharap buku ini bisa menyapa pembaca pada November 2020, dan dapat menjadi kado ulang tahun saya ke-40.
Buku Doa Orang Gila sebenarnya buku yang tidak direncanakan. Bahkan terpikir-pun tidak untuk menerbitkan buku ini. Malah, saya sempat merencanakan buku lain dengan judul yang sedikit nyeleneh. Misalnya, Selangkang Orang Aceh atau Aceh Tapi Nyata. Ide menggarap buku ini pun gagal total. Saya kehilangan minat dan semangat untuk menulis tema tersebut, atau mengumpulkan tulisan yang memiliki tema serupa. Alhasil, kedua buku tersebut tidak pernah menampakkan wujudnya di pasaran, dan hanya terkungkung di dalam penjara ide.
Sebagai informasi, pada tahun 2009 saya menerbitkan buku Aceh Pungo, buku kumpulan kolom saya di Harian Aceh, sebuah koran lokal tempat saya menghabiskan usia produktif lebih dari tiga tahun. Bukan juga kebetulan jika buku tersebut terbit pada minggu kedua bulan Februari. Boleh dibilang, buku Aceh Pungo ini, termasuk laris di pasaran. Saya mendunga, orang-orang penasaran untuk membeli buku ini karena judulnya begitu menggelitik, bukan karena apa yang saya tulis. Di kemudian hari, saya pun lebih dikenal karena buku ini dan Aceh Pungo menjadi identik dengan saya, bahkan hingga hari ini.
Jika dihitung dari tahun terbitnya Aceh Pungo, maka buku Doa Orang Gila hadir ke dunia nyata setelah lebih dari 10 tahun. Ini sebuah jeda yang cukup lama untuk seorang yang berkutat di dunia tulis-menulis. Soalnya, ada teman saya yang mampu menghasilkan satu novel setiap tahun plus beberapa buku kumpulan tulisan. Saya terang saja langsung merasa ciut nyali, bahkan untuk sekadar menyebut nama mereka. Hanya saja menghasilkan sebuah buku bukanlah perkara mudah, ia tidak melulu bicara soal tulisan, melainkan ada faktor lain yang juga perlu dipikirkan. Misalnya, sejauhmana buku tersebut cocok dengan selera pasar.
Tapi, tetap saja terbitnya buku Doa Orang Gila membuat saya senang. Tidak ada lagi ganjalan di kepala saya, beban yang saya tanggung dengan berat, setelah buku Aceh Pungo beredar di pasaran. Bagi orang yang pernah menerbitkan buku pasti mengalami dilema serupa setelah buku pertama terbit. Ada banyak pertanyaan menggoda, umumnya dari orang-orang yang sempat membaca buku pertama, tentang kapan rencana menulis buku kedua?
Saya tentu saja tidak terganggu apalagi terbebani dengan pertanyaan tersebut. Bukan karena saya pernah menulis beberapa buku berbayar atau menulis buku keroyokan bersama teman-teman. Bagi saya, menerbitkan buku tidaklah seperti orang buang hajat, yang setiap pagi harus ‘membiasakan’ diri untuk berdiam diri di toilet. Menerbitkan buku adalah perkara lain dan tidak ada hubungannya dengan urutan angka. Misalnya, setelah nomor satu pastilah nomor dua.
Saya akui, selain buku Aceh Pungo dan Doa Orang Gila, saya sempat menulis dan menerbitkan buku lain. Untuk judulnya sengaja saya rahasiakan. Biarlah kalian mencarinya sendiri. Karena beberapa judul buku yang mencantumkan nama saya sebagai penulis pernah beberapa kali disebutkan.
Akhirnya, menutup tulisan yang tidak seberapa penting ini, saya ingin mengutip ungkapan seorang penulis dan sialnya saya pun lupa namanya. Katanya, “kamu menulis itu bukan karena ingin mengatakan sesuatu, melainkan karena ada sesuatu yang ingin kamu katakan!”
Dan, setelah Aceh Pungo, lalu terbitlah Doa Orang Gila. Silakan saja berburu buku ini di mana saja. Bagi yang sudah membeli dan memilikinya, saya ucapkan selamat membaca!