Terra Luna 2.0

“Saya adalah korban coin Luna jilid kedua.” Itulah kelakar saya kepada teman-teman yang bermain kripto belakangan ini.

Taufik Al Mubarak
3 min readSep 21, 2022

--

Photo by Tech Daily on Unsplash

Korban jilid pertama, dalam hemat saya, adalah Muhajir, bukan nama sebenarnya. Teman saya ini mulai berkenalan dengan dunia kripto medio 2021 lalu, dan bursa kripto yang pertama digunakannya adalah Pintu, sebuah aplikasi jual beli crypto terpercaya di Indonesia saat ini.

Sebagai trader pemula, aset digital pertama yang dibelinya adalah Ethereum (ETH), coin kripto kedua terbesar setelah Bitcoin. Jumlah coin ETH yang dibelinya setara dengan Rp3 juta. Saya tidak ingat persis pada kisaran harga berapa dia beli ketika itu. Hanya saja, setelah ETH naik dan ia mendapatkan cuan Rp300 ribu, coin itu pun dijualnya.

Margin keuntungan yang lumayan besar ini membuat ia begitu bersemangat melakukan jual beli kripto. Agar tidak salah beli, ia memantau pergerakan beberapa aset digital potensial, dan ia menjatuhkan pilihan pada coin Luna dari Terralabs milik Do Kwon, investor kripto dari Korea.

Awalnya, LUNA begitu menyakinkan. Coin yang memiliki jaringan sendiri, Terra, ini begitu menjanjikan. Pergerakannya lumayan stabil dan selalu bergerak naik. Muhajir sempat mencatat kenaikan coin ini yang mencapai harga Rp1,7 juta per 1 LUNA. Ia pernah membeli LUNA saat masih di kisaran harga Rp800 ribu per 1 LUNA.

Ketika harga mulai naik, ia pun melepaskan aset digital miliknya itu pada harga Rp1,2 juta per 1 LUNA. Muhajir sangat yakin bahwa harga LUNA akan terus naik. Ia pun melipatgandakan modal, dengan kembali membeli LUNA pada harga Rp1,2 juta. Mantan aktivis mahasiswa ini begitu semringah ketika mendapati harga LUNA mencapai Rp1,7 juta per 1 LUNA. Ia urung melepaskan aset LUNA yang dimilikinya karena yakin harganya akan mencapai Rp2 juta per 1 LUNA, dan saat itulah ia akan menjualnya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Itulah yang menimpa teman saya. Alih-alih berharap harga LUNA naik mencapai level tertingginya, Rp2 juta per 1 LUNA, justru terjadi skandal yang membalikkan semua prediksi pengamat kripto. Harga LUNA mulai tergerus, perlahan-lahan. Dari harga Rp1,7 juta turun ke harga 1 juta, dan terus menukik tajam ke harga Rp880 ribu, dan semakin turun.

Sekali lagi ia membuat keputusan, dan keliru. Ia membeli LUNA pada kisaran harga Rp680 ribu, karena sangat yakin harganya akan kembali naik menjadi Rp1,2 juta pada titik resisten seperti sebelumnya. Sialnya, harga LUNA tidak pernah bergerak naik lagi, melainkan turun secara perlahan-lahan, hingga menjadi tidak bernilai. Ia pun merugi, meski tidak sebesar pemain kripto lainnya. Setidaknya, semua uang yang dia pertaruhkan menjadi debu, begitu kata orang.

Apa yang sebelumnya menimpa teman saya itu kini saya alami sendiri. Jika teman saya menjadi korban dari coin LUNA (kini LUNA Classics/LUNC), maka saya adalah korban LUNA jilid kedua, Terra LUNA 2.0. Kerugian yang saya alami tentu saja tidak sebesar teman saya. Saya hanya mempertaruhkan sekitar Rp5 juta untuk membeli LUNA 2.0 di kisaran harga Rp91.000. Kini harganya terus tergerus dan tidak pernah naik lagi. Saat tulisan ini saya tulis, harga Terra Luna adalah Rp38 ribu, dan saya merugi sekitar Rp3 juta.

Karena sudah kepalang basah, saya tidak berniat menjual aset digital LUNA yang saya miliki. Saya masih berharap harganya kembali naik, meskipun tidak mencapai harga di saat saya beli. Saat itu, saya akan mempertimbangkan untuk melepasnya, minimal saya tidak rugi banyak.

Kini, tiap kali memantau harga kripto, saya selalu sedih saat melihat pergerakan coin Terra LUNA 2.0. Soalnya, saya pertaruhkan uang yang seharusnya saya gunakan untuk membeli gadget!

--

--